Digitalisasi Dunia
AI: Kreator atau Manipulator? Ketika Kreativitas Digital Bertemu dengan Bahaya yang Tak Terlihat
19 Mar 2025
AI tidak lagi sekadar alat bantu—ia kini menjadi pencipta. Dari video AI yang tampak nyata hingga avatar yang semakin hidup, teknologi ini merevolusi dunia digital. Tapi di balik kemajuan ini, muncul ancaman baru: deepfake yang bisa menipu, AI yang memberikan saran keliru, hingga bias yang tak terduga. Di era di mana AI semakin canggih, bagaimana kita bisa memanfaatkannya tanpa kehilangan kendali.

Dulu, AI hanya dikenal sebagai alat bantu dalam proses pembuatan konten—misalnya, dalam pengeditan video, pencarian gambar, atau analisis data. Namun kini, AI mampu menjadi pencipta itu sendiri. Algoritma pembelajaran mesin seperti Generative Adversarial Networks (GANs) dan transformer models seperti GPT-3 atau DALL·E dapat menghasilkan gambar, musik, video, bahkan teks yang sangat realistis, tanpa campur tangan manusia. DALL·E, misalnya, bisa menghasilkan gambar yang menakjubkan dari deskripsi teks semata, sementara GPT-3 dapat menulis artikel, puisi, atau dialog dengan gaya manusia.
Kemampuan ini membuka peluang besar di dunia industri kreatif, baik itu pembuatan film, desain grafis, hingga pengembangan musik. Banyak studio film dan perusahaan desain kini mulai memanfaatkan AI. Seperti contohnya, Marvel Studios menggunakan AI dalam pembuatan film Avengers: Infinity War untuk menyempurnakan ekspresi emosional dalam adegan CGI kompleks, 20th Century Fox menggunakan AI untuk membuat dan menganalisa skrip, dan Warner Bros menggunakan AI untuk membantu membuat keputusan saat casting. Di dunia musik, AI sudah digunakan untuk membuat komposisi musik yang menyerupai karya seniman terkenal. Bahkan, musisi terkenal seperti Taryn Southern telah memanfaatkan AI untuk membuat album musik (I AM I), mencampur kreativitas manusia dengan algoritma.
Namun, meskipun kemajuan ini membawa banyak manfaat, ada beberapa risiko yang harus kita pertimbangkan. Apakah kita sudah siap untuk menerima AI sebagai pencipta konten tanpa pengawasan yang ketat? Di balik potensi cemerlangnya, ada bahaya yang mengintai—seperti deepfake, misinformasi, dan bias dalam algoritma yang bisa merugikan banyak orang.
Ancaman Deepfake: Teknologi Manipulasi yang Makin Canggih
Salah satu masalah paling mencolok dalam penggunaan AI adalah kemampuannya untuk menciptakan deepfake—video atau gambar yang dibuat dengan memanipulasi wajah atau suara seseorang agar tampak seperti orang lain. Teknologi deepfake, yang semakin mudah diakses oleh publik, memungkinkan seseorang untuk membuat video palsu yang terlihat sangat realistis.
Deepfake sering digunakan untuk menyebarkan hoaks, berita palsu, propaganda, atau bahkan fitnah dengan cara yang sangat meyakinkan. Contoh nyata dari dampak negatif deepfake terjadi ketika sebuah perusahaan multinasional yang berbasis di Hong Kong kehilangan dana sebesar US$25 juta setelah seorang karyawan ditipu oleh seseorang yang menyamar sebagai kepala keuangan perusahaan (CFO) menggunakan teknologi deepfake. Contoh lain datang dari negara Venezuela, di mana media menyebarkan pesan pro-pemerintah melalui video yang dihasilkan oleh AI, menampilkan pembaca berita dari saluran internasional berbahasa Inggris yang sebenarnya tidak ada. Di Amerika Serikat, video dan gambar manipulasi oleh AI dari pemimpin politik beredar di media sosial, seperti video yang memperlihatkan Presiden Biden membuat komentar transphobia.
Menurut laporan Onfindo Identity Fraud Report 2024 yang tercantum dalam artikel IBM, jumlah deepfake mengalami peningkatan signifikan sebesar 3,000% pada tahun 2023. Tren yang mengkhawatirkan ini diprediksi akan terus berlanjut di masa depan. Hal ini menunjukkan bahwa ancaman tersebut semakin besar, tidak hanya di tingkat individu atau organisasi, tetapi juga dalam konteks yang lebih luas, seperti politik dan media.
AI Hallucinations dan Misinformasi: Ketika AI Salah Menyimpulkan
Meskipun AI mampu menghasilkan konten dengan akurasi yang tinggi, bukan berarti ia bebas dari kesalahan. Salah satu masalah besar yang dihadapi AI adalah fenomena yang disebut AI hallucination, di mana AI menghasilkan informasi salah atau tidak relevan. AI hallucinations ini sering kali muncul akibat kekurangan data yang berkualitas atau karena algoritma yang tidak cukup diajarkan untuk memahami konteks secara penuh.
Sebagai contoh, dalam sistem AI yang digunakan untuk diagnosis medis, AI bisa memberikan saran yang keliru yang berbahaya, seperti merekomendasikan pengobatan yang tidak tepat. Ini pernah terjadi pada AI milik Google yang memberikan rekomendasi dan informasi yang tidak akurat terkait kesehatan, seperti rekomendasi untuk “memakan satu batu kecil per hari untuk mendapatkan vitamin dan mineral”.
Contoh lain yang menarik adalah penggunaan AI untuk memprediksi pemenang Piala Oscar. Cybernews melakukan pengujian terhadap DeepSeek untuk meramalkan pemenang dalam beberapa kategori, seperti Aktor dan Aktris dengan Leading Role, Aktor dan Aktris dengan Supporting Role, Best Picture, dan Directing. Hasilnya sangat mengejutkan karena prediksi yang diberikan tidak akurat. Bahkan, DeepSeek memunculkan nama-nama yang tidak ada dalam daftar nominasi, seperti contohnya prediksi bahwa Leonardo DiCaprio akan memenangkan penghargaan, padahal film terakhirnya baru dirilis pada tahun 2023.
Selain itu, AI yang digunakan dalam sektor keuangan atau perbankan juga bisa menghasilkan prediksi buruk yang berisiko, seperti kesalahan dalam menilai kredit atau investasi, yang akhirnya merugikan banyak pihak.
Bias dalam AI: Membawa Diskriminasi yang Tidak Terlihat
Masalah lainnya adalah bias dalam AI. Karena AI dilatih menggunakan data besar (big data), algoritma AI bisa mempelajari pola-pola yang ada dalam data tersebut. Sayangnya, data yang digunakan untuk melatih AI sering kali sudah terkontaminasi dengan bias manusia, seperti bias gender, ras, atau status sosial ekonomi.
Misalnya, dalam sistem rekrutmen berbasis AI, jika data perekrutan yang digunakan oleh sebuah sistem AI cenderung mendominasi satu kelompok etnis atau gender, maka AI bisa saja membuat keputusan yang diskriminatif. Hal yang sama berlaku dalam sistem peradilan yang menggunakan AI untuk memprediksi tingkat risiko pelaku kejahatan, yang dapat mengarah pada diskriminasi rasial jika data pelatihan mengandung bias tertentu.
Masalah bias dalam AI ini sudah terlihat di berbagai sektor, dari keputusan perekrutan, peradilan, hingga pendanaan bisnis. Salah satu contoh kasusnya terjadi pada Amazon, di mana pada tahun 2018, Amazon membatalkan sistem perekrutan berbasis AI-nya setelah menemukan bahwa algoritma mereka lebih memilih aplikasi yang datang dari pria daripada wanita, meskipun perusahaan itu ingin lebih inklusif.
Bias yang terprogram dalam algoritma bisa memperburuk ketidaksetaraan yang ada dalam masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi pengembang AI untuk memastikan bahwa data yang digunakan bersifat inklusif dan tidak mempengaruhi keputusan secara tidak adil.
Mengatur AI dengan Etika: Regulasi dan Pengawasan yang Diperlukan
Meskipun AI menawarkan banyak potensi luar biasa, kita tidak bisa begitu saja membiarkan teknologi ini berjalan tanpa pengawasan. Dibutuhkan regulasi yang jelas dan etika yang ketat untuk memastikan bahwa AI digunakan dengan cara yang bertanggung jawab dan aman. Pengawasan manusia tetap menjadi kunci agar kita bisa menghindari potensi penyalahgunaan, baik itu dalam bentuk manipulasi media, pengambilan keputusan yang diskriminatif, atau bahkan kerusakan reputasi dan kepercayaan publik.
Beberapa negara dan organisasi internasional telah mulai merancang kebijakan yang mengatur penggunaan AI. Seperti Uni Eropa, telah mulai mengimplementasikan undang-undang tentang kecerdasan buatan yang mencakup aturan ketat mengenai penggunaan data pribadi, transparansi algoritma, dan tanggung jawab atas kesalahan yang dilakukan oleh AI. EU Artificial Intelligence Act diperkenalkan untuk menetapkan standar etika yang jelas bagi perusahaan yang mengembangkan teknologi AI di Eropa. Selain itu, perusahaan teknologi besar juga telah mulai menyadari pentingnya untuk mengembangkan AI yang transparan dan dapat dipertanggungjawabkan, dengan lebih banyak investasi dalam riset untuk memastikan bahwa AI beroperasi tanpa bias dan sesuai dengan standar etika.
Meskipun beberapa negara telah mulai mengatur penggunaan AI, masalah besar lain masih ada. Sebuah studi dari MIT Sloan menunjukkan bahwa penerapan AI masih sangat terbatas hanya di perusahaan-perusahaan besar, dan umumnya terkonsentrasi di kota-kota besar. Perbedaan dalam ketersediaan infrastruktur, teknologi, dan pendidikan dapat memperburuk ketidaksetaraan yang ada, terutama seiring dengan pergeseran ekonomi yang semakin mengarah pada produksi dan inovasi yang didorong oleh AI.
Tidak ada satu negara atau lembaga yang bisa mengatur AI di seluruh dunia, mengingat AI adalah teknologi global yang dapat digunakan oleh siapa saja, di mana saja. Oleh karena itu, diperlukan kolaborasi antara pemerintah, industri, dan masyarakat secara global untuk menciptakan sistem yang aman, adil, dan transparan.
Kesimpulan: Menjaga Kendali di Era AI
Kita tidak bisa lagi menutup mata terhadap risiko yang dihadirkan oleh AI. Namun, dengan pengawasan manusia yang tegas dan kebijakan yang berlandaskan nilai-nilai kemanusiaan, kita dapat mengarahkan teknologi ini untuk menciptakan dunia yang lebih cerdas dan adil, bukan hanya bagi perkembangan teknologi itu sendiri, tetapi juga untuk kesejahteraan seluruh umat manusia.