AstraSatu Indonesia

Digitalisasi Dunia

Masa Depan Semikonduktor: Prospek dan Tantangan di Tengah Perang Chip AS-China

China terus mengembangkan industri semikonduktornya untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi Amerika Serikat dan sekutunya. Langkah ini menjadi krusial di tengah sanksi dan perang teknologi dengan Amerika Serikat yang makin memanas.​

Masa Depan Semikonduktor: Prospek dan Tantangan di Tengah Perang Chip AS-China

Perang semikonduktor antara Amerika Serikat dan China menjadi salah satu topik hangat dalam geopolitik dan teknologi global. Ketegangan antara dua negara dengan ekonomi terbesar dunia ini sejatinya telah lama terjadi, namun hubungan keduanya menjadi makin panas karena perang chip dalam beberapa tahun terakhir.

Semikonduktor, chip atau mikrochip, adalah inti dari perangkat elektronik modern, mulai dari smartphone, komputer, kendaraan listrik, peralatan militer, bahkan mesin cuci hingga kulkas. Menurut laporan McKinsey, secara global, semikonduktor diprediksi akan menjadi industri dengan nilai mencapai $1 triliun pada tahun 2030 mendatang.

Karenanya, menarik untuk mengetahui bagaimana China dengan segala upayanya mengembangkan industri semikonduktor dalam negeri, dan juga upaya Amerika Serikat yang ingin membendung China, serta prospek masa depan dan tantangan industri ini di tengah 'perang' antara Amerika Serikat versus China.

Huawei.webp

Perang Teknologi dan Sanksi AS: Menyulut Perlombaan Chip Global

Salah satu awal penting pemicu dalam perang ini adalah kebijakan sanksi dari Negeri Paman Sam yang mulai diberlakukan efektif pada Oktober 2022 lalu, yang membatasi akses perusahaan-perusahaan China terhadap teknologi semikonduktor Amerika Serikat, termasuk chip yang diproduksi oleh perusahaan-perusahaan seperti Intel, Qualcomm, dan AMD.

Lewat sanksi tersebut, Amerika Serikat menargetkan raksasa teknologi China seperti Huawei dan Semiconductor Manufacturing International Corporation (SMIC), juga melarang perusahaan-perusahaan tersebut untuk mendapatkan teknologi dan perangkat keras yang diperlukan untuk produksi chip kelas atas. 

Kebijakan ini memicu krisis di China karena industri domestik mereka sangat bergantung pada teknologi Amerika Serikat dan sekutunya. Pemerintah China pun tidak tinggal diam dengan mempercepat upaya untuk mengurangi ketergantungan pada teknologi Amerika Serikat dengan menginvestasikan miliaran dolar ke dalam riset dan pengembangan (R&D) semikonduktor.

SMIC.webp

Upaya China dalam Pengembangan Semikonduktor Domestik

China telah menetapkan pengembangan semikonduktor sebagai prioritas nasional. Strategi “Made in China 2025” yang diluncurkan pada tahun 2015 lalu bertujuan untuk menjadikan negara tersebut mandiri dalam teknologi canggih, termasuk semikonduktor. 

China berambisi untuk mengembangkan ekosistem semikonduktor yang mampu memenuhi 70 persen kebutuhan domestik tanpa harus bergantung pada impor dari Amerika Serikat atau negara-negara lain pada 2025 mendatang. Lewat kebijakan itu, China juga menetapkan industri semikonduktor sebagai tujuan untuk mencapai output sebesar US$305 miliar pada tahun 2030 dan memenuhi 80 persen permintaan dalam negeri.

Untuk mencapai tujuan, China telah meningkatkan investasi di sektor ini dengan mendirikan badan dana investasi nasional khusus untuk pengembangan semikonduktor, yang dikenal sebagai "Big Fund". Pada tahun 2022, China menghabiskan lebih dari $30 miliar untuk R&D semikonduktor, dan angka ini diperkirakan akan terus meningkat.

Selain itu, mereka mendorong perusahaan domestik seperti SMIC dan Hua Hong Semiconductor untuk mempercepat produksi chip yang lebih canggih, tetapi mereka masih menghadapi tantangan signifikan dalam hal teknologi litografi yang diperlukan untuk memproduksi chip 5nm dan lebih kecil.

Meskipun ada kemajuan, namun China masih tertinggal dalam teknologi semikonduktor canggih dibandingkan dengan Amerika Serikat, Taiwan, dan Korea Selatan. Misalnya, Taiwan Semiconductor Manufacturing Company (TSMC) dan Samsung telah memimpin dalam pengembangan teknologi 5nm dan 3nm, sementara China masih berjuang untuk menghasilkan chip 7nm secara konsisten.

USA China.webp

Prospek Masa Depan: Peta Jalan Teknologi dan Geopolitik

Di masa depan, industri semikonduktor global kemungkinan akan makin terpecah antara dua kutub besar: Amerika Serikat dan sekutunya di satu sisi, serta China di sisi lain. Amerika Serikat telah membentuk aliansi dengan negara-negara seperti Jepang, Korea Selatan, dan Taiwan untuk mempertahankan dominasinya dalam industri semikonduktor, sekaligus demi menghadang China. 

Amerika Serikat bahkan telah memberikan subsidi lewat CHIPS and Science Act, sebuah kebijakan industri bernilai US$52,7 miliar yang bertujuan untuk mendukung penelitian, meningkatkan ketahanan rantai pasokan, dan merevitalisasi produksi semikonduktor domestik, dan bahkan kepada perusahaan-perusahaan teknologi negara-negara lain sekutu Amerika Serikat.

China pun tidak tinggal diam. Salah satu upaya yang dilakukan adalah kolaborasi China dengan Rusia dan negara-negara berkembang lainnya untuk menciptakan blok teknologi baru yang tidak tergantung pada Barat. Meski, tidak dapat dimungkiri bahwa saat ini posisi China dalam industri semikonduktor global masih terbatas, namun tetapi memiliki prospek masa depan yang cerah.

Berbagai sumber meyakini, pada tahun 2030 mendatang China akan mampu memproduksi chip canggih dalam skala besar, yang dapat mengubah peta persaingan global di sektor ini. Namun, hal ini masih tergantung pada seberapa cepat mereka bisa mengejar ketertinggalan teknis di bidang litografi dan manufaktur semikonduktor canggih. 

Sebagai informasi, litografi adalah teknik yang digunakan untuk mencetak pola pada silicon wafer, yang merupakan bahan dasar semikonduktor. 

Kini, dengan segala tantangannya, China tengah gencar-gencarnya melakukan berbagai upaya, seperti akuisisi teknologi, mempercepat R&D, dan bahkan berusaha untuk menciptakan teknologi alternatif yang bisa mematahkan monopoli Barat dalam teknologi canggih.

istock-1456167219.jpg

Tantangan dan Hambatan: Teknologi, Politik, dan Ekonomi

Di tengah upaya China yang berusaha keras untuk mengembangkan industri domestiknya dengan investasi besar-besaran, muncul sejumlah tantangan besar dalam mengembangkan industri semikonduktornya untuk menantang Amerika Serikat. 

Pertama, teknologi litografi yang digunakan untuk memproduksi chip canggih, seperti mesin Extreme Ultraviolet Lithography (EUV) masih dikuasai oleh AS dan sekutunya. Imbas Amerika Serikat yang melarang ekspor teknologi ini ke China, industri semikonduktor China saat ini tertinggalan dan masih bergantung pada teknologi lama. 

China pun tertinggal, karena baru dapat memproduksi chip dengan proses 7nm, sementara sekutu Amerika Serikat lainnya seperti TSMC dan Samsung telah berhasil memproduksi chip dengan proses 3nm. 

Kedua, kekurangan tenaga kerja ahli di bidang semikonduktor juga menjadi masalah serius bagi China. Sementara Amerika Serikat dan Taiwan memiliki ekosistem pendidikan dan pelatihan yang mendukung industri semikonduktor, China masih kekurangan insinyur berpengalaman untuk menjalankan fasilitas produksi canggih. 

Meskipun pemerintah China telah berinvestasi besar-besaran dalam pendidikan teknis, dibutuhkan waktu bertahun-tahun untuk menciptakan tenaga kerja yang cukup terampil untuk memenuhi kebutuhan industri.

Ketiga, ketidakstabilan geopolitik memperburuk situasi. Perang dagang yang sedang berlangsung antara Amerika Serikat dan China, ditambah dengan ketegangan terkait Taiwan yang menjadi pusat industri semikonduktor global melalui TSMC menciptakan ketidakpastian besar di pasar chip global. 

Sementara di sisi lain, Amerika Serikat berusaha mempertahankan dominasinya dengan aliansi global dan sanksi ekonomi bagi negara-negara yang mengancam keunggulan mereka.  Amerika Serikat juga melakukan upaya-upaya untuk tetap mendominasi industri semikonduktor dunia.

Pertama, Amerika Serikat terus memperkuat hubungan dengan negara-negara seperti Korea Selatan, Jepang, dan Taiwan, yang merupakan pusat produksi semikonduktor global. TSMC di Taiwan dan Samsung di Korea Selatan adalah pemain utama dalam produksi chip 3nm, di mana Amerika Serikat memiliki kepentingan besar dalam melindungi akses terhadap teknologi canggih ini.

Kedua, lewat inisiatif seperti CHIPS Act, Amerika Serikat berkomitmen menginvestasikan miliaran dolar untuk membangun kembali kapasitas produksi semikonduktor dalam negeri. Langkah ini bertujuan untuk mengurangi ketergantungan pada rantai pasokan global dan memastikan akses berkelanjutan ke teknologi chip mutakhir.

Ketiga, Amerika Serikat menganggap dominasi dalam semikonduktor sebagai masalah keamanan nasional. Oleh karena itu, membatasi akses China terhadap teknologi chip berukuran di bawah 7nm menjadi prioritas bagi Amerika Serikat untuk mencegah China mengembangkan kapabilitas militer yang lebih kuat berbasis teknologi canggih.

Keempat, Amerika Serikat terus memimpin dalam inovasi teknologi semikonduktor melalui universitas riset dan kolaborasi publik-swasta. Ini memungkinkan perusahaan seperti Intel untuk bersaing dalam perlombaan menuju produksi chip 3nm dan lebih kecil, memastikan mereka tetap di depan dalam pengembangan teknologi.

Sebagai penutup, jika konflik ini makin memanas, gangguan besar pada rantai pasokan semikonduktor dapat terjadi, yang akan memengaruhi ekonomi global secara keseluruhan. Karena itu, masa depan industri semikonduktor berada di persimpangan penting, dengan perang teknologi antara Amerika Serikat dan China yang makin intensif. 

Artikel Sebelumnya
Berlangganan buletin kami untuk pembaruan
Astra Digital

Quick Menu

Lainnya

© 2025 AstraDigital

Punya Pertanyaan?

Terhubung dengan kami

Globe