AstraSatu Indonesia

Digitalisasi Dunia

Skype Pensiun: Dari Ikon Komunikasi Jadi Kenangan, Apa yang Terjadi?

Bagi banyak dari kita, terutama yang sudah merasakan era internet awal 2000-an, nama Skype tentu tidak asing. Platform ini pernah menjadi raja komunikasi, menghubungkan jutaan orang di seluruh dunia melalui panggilan suara dan video. Istilah "Skype-an" bahkan sempat menjadi kata kerja sehari-hari. Namun, roda zaman terus berputar. Baru-baru ini, Microsoft, sang pemilik Skype, mengumumkan bahwa layanan Skype untuk pengguna konsumen akan resmi dihentikan pada 5 Mei 2025. Pengguna didorong untuk beralih ke Microsoft Teams, platform kolaborasi yang kini menjadi andalan Microsoft.

Skype Pensiun: Dari Ikon Komunikasi Jadi Kenangan, Apa yang Terjadi?

Penghentian Skype bukanlah sebuah kejadian yang tiba-tiba. Ini adalah puncak dari serangkaian keputusan strategis dan, bisa dibilang, kegagalan adaptasi yang terjadi selama bertahun-tahun.  

Microsoft mengakuisisi Skype pada tahun 2011, namun kemudian meluncurkan Microsoft Teams pada tahun 2017. Langkah ini, diikuti dengan penghentian Skype for Business pada 2021, dan akhirnya pengumuman penghentian Skype versi konsumen pada 2025, menunjukkan perubahan dalam prioritas Microsoft dan lanskap komunikasi digital secara keseluruhan. 

 

Strategi Microsoft: Mengorbankan Skype Demi Microsoft Teams? 

Setelah mengakuisisi Skype dengan nilai fantastis $8,5 miliar pada tahun 2011, Microsoft tampaknya memiliki rencana besar. Namun, kehadiran Microsoft Teams pada tahun 2017 mengubah peta jalan tersebut. 

Teams dirancang sebagai sebuah pusat kolaborasi yang lebih komprehensif, bukan hanya untuk panggilan video, tetapi juga untuk pesan instan, berbagi file, dan integrasi mendalam dengan rangkaian produk Microsoft 365 lainnya. 

Mengapa Microsoft lebih memilih Teams? Jawabannya terletak pada model bisnis. Teams diposisikan kuat untuk pasar korporat dan dijual sebagai bagian integral dari langganan Microsoft 365. Model lisensi berlangganan ini memberikan aliran pendapatan yang stabil, dapat diprediksi, dan jauh lebih menguntungkan bagi Microsoft dibandingkan model Skype yang sebagian besar fiturnya gratis untuk pengguna individu. 

Ide bahwa Microsoft tidak terlalu tertarik bersaing langsung dengan aplikasi pesan sosial seperti WhatsApp, melainkan fokus pada persaingan dengan Zoom di ranah korporat melalui Teams, tampak sejalan dengan strategi ini. Penjualan lisensi korporat jelas lebih menjanjikan pundi-pundi pendapatan. 

Strategi serupa juga diadopsi oleh raksasa teknologi lain. Google, misalnya, mengintegrasikan Google Meet ke dalam Google Workspace, di mana fitur-fitur premium dan kapasitas yang lebih besar hanya tersedia bagi pelanggan berbayar. 

Untuk mendapatkan layanan telepon yang setara dengan yang dulu ditawarkan Skype melalui Teams (setelah Mei 2025), pengguna nantinya akan memerlukan lisensi bisnis seperti Teams Essentials ke atas dan layanan Teams Phone. Ini semakin menggarisbawahi pergeseran ke model monetisasi berbasis langganan korporat. 

Data pertumbuhan pengguna berbicara jelas. Pada kuartal pertama tahun fiskal 2024, Teams mencatatkan 320 juta pengguna aktif bulanan. Angka ini mencerminkan pertumbuhan signifikan dibandingkan dengan 300 juta pengguna yang dilaporkan sebelumnya pada kuartal sebelumnya. Teams kini digunakan oleh sekitar 80% dari total pengguna aktif bulanan Office 365, menjadikannya salah satu platform kolaborasi terbesar di dunia.

 

skype-teams-730x480.jpg

 

Masalah Skype: Dari UI/UX Jadul Hingga Beban Kredit 

Selain faktor eksternal dan strategi perusahaan, Skype juga memiliki masalah internal yang berkontribusi pada kemundurannya. Salah satu keluhan paling umum dari pengguna adalah pengalaman pengguna (UI/UX) yang dianggap buruk. Banyak pengguna dan pakar teknologi mengkritik antarmuka Skype yang terasa ketinggalan zaman, rumit, tidak intuitif, dan seringkali membingungkan. Tugas-tugas dasar seperti memulai panggilan atau menemukan kontak menjadi sulit karena penambahan tombol dan menu yang berlebihan seiring waktu. 

Puncaknya adalah perombakan desain besar-besaran pada tahun 2017. Alih-alih memperbaiki, desain ulang ini justru dianggap sebagai bencana. Skype mencoba meniru fitur-fitur media sosial populer seperti Snapchat, dengan menambahkan "stories" dan emoji yang mencolok. Akibatnya, fungsi inti panggilan video yang menjadi kekuatan Skype malah menjadi terkubur dan sulit diakses. 

Kinerja aplikasi juga dilaporkan menurun. Reaksi pengguna sangat negatif, tercermin dari anjloknya rating Skype di toko aplikasi, dari rata-rata 3,5 bintang menjadi serendah 1,5 bintang. Skype bahkan terpaksa meminta maaf secara publik dan membatalkan banyak perubahan tersebut. Episode ini menjadi titik balik yang merugikan, di mana upaya mengejar tren dangkal justru mengorbankan fungsi inti dan kepercayaan pengguna. 

Masalah lain yang sering dikeluhkan adalah sistem kredit Skype. Untuk melakukan panggilan ke nomor telepon rumah atau seluler (PSTN), pengguna diharuskan membeli "Skype Credit". Proses pembelian kredit ini dianggap merepotkan dan tidak praktis, terutama ketika banyak aplikasi lain menawarkan panggilan gratis antar pengguna aplikasi hanya dengan koneksi internet. 

Microsoft sendiri telah mengonfirmasi bahwa setelah Mei 2025, fitur berbayar Skype, termasuk Skype Credit dan langganan panggilan, tidak akan lagi ditawarkan kepada pelanggan baru. 

 

Top-6-Most-Secure-Video-Calling-Apps-1200x630-1.avif

 

Gempuran Pesaing dan Perubahan Perilaku Pengguna 

Kemunduran Skype tidak hanya disebabkan oleh faktor internal dan strategi Microsoft, tetapi juga oleh lanskap persaingan yang semakin ketat dan perubahan fundamental dalam cara kita berkomunikasi. 

Salah satu gempuran terbesar datang dari aplikasi-aplikasi yang dirancang khusus untuk perangkat seluler (mobile-first). Aplikasi seperti WhatsApp, FaceTime, dan berbagai platform pesan instan lainnya menawarkan pengalaman yang lebih ringan, lebih mulus, dan terintegrasi dengan baik di ponsel pintar. 

WhatsApp, khususnya, dengan cepat meraih popularitas global karena kemudahannya. Pengguna cukup menggunakan nomor telepon mereka sebagai identitas, dan daftar kontak di ponsel otomatis terintegrasi, menghilangkan kerumitan membuat akun baru dan mencari nama pengguna seperti di Skype. Hal ini sejalan dengan pergeseran perilaku pengguna yang kini lebih banyak melakukan panggilan melalui aplikasi berbasis data daripada panggilan telepon konvensional. 

Fitur panggilan suara dan video gratis melalui koneksi data (Wi-Fi atau seluler) yang ditawarkan oleh WhatsApp, Viber, dan sejenisnya juga membuat model berbayar Skype (Skype Credit untuk panggilan ke nomor telepon) menjadi semakin kurang menarik. Ditambah lagi, salah satu daya tarik awal Skype adalah kemampuannya untuk melakukan panggilan internasional dengan biaya yang relatif rendah. Namun, seiring berjalannya waktu, biaya panggilan internasional melalui operator telekomunikasi tradisional pun mengalami penurunan signifikan. Ini semakin menggerus keunggulan kompetitif Skype di area tersebut. 

Kemudian, muncul Zoom yang dengan cepat menjadi pemain dominan dalam ranah konferensi video, terutama selama periode pandemi COVID-19. Keunggulan utama Zoom terletak pada kemudahan penggunaannya – bergabung dalam rapat hanya dengan sekali klik tautan, seringkali tanpa perlu membuat akun terlebih dahulu. Selain itu, Zoom juga dikenal karena kualitas panggilan video dan audio yang stabil serta fitur-fitur yang sangat relevan untuk kebutuhan rapat dan kolaborasi jarak jauh. 

Data pangsa pasar menunjukkan betapa cepatnya pergeseran ini terjadi. Pada awal tahun 2020, Skype sebenarnya masih memegang porsi yang cukup besar di pasar panggilan video, yaitu sekitar 32,4%. Namun, angka ini anjlok drastis menjadi hanya 6,6% pada tahun 2021. Sebaliknya, dalam periode yang sama, pangsa pasar Zoom meroket dari 26,4% menjadi sekitar 48,7%. 

 

Pelajaran dari Senjakala Skype 

Kemunduran Skype pada dasarnya bukan hanya karena munculnya pesaing yang lebih baik, tetapi juga karena adanya perubahan paradigma fundamental dalam cara orang berkomunikasi. Pergeseran ke platform mobile-first, integrasi pesan instan dengan fitur panggilan dalam satu aplikasi, serta penekanan pada kemudahan penggunaan, terbukti lebih diminati daripada platform dengan fitur lengkap namun dirasa rumit. Skype, dengan DNA yang lebih condong ke desktop, kesulitan beradaptasi dengan paradigma baru ini. 

 

Pada akhirnya, kisah senjakala Skype menjadi pengingat penting bagi semua perusahaan, termasuk di mana pun kita bekerja. Vitalnya kemampuan untuk terus berinovasi, beradaptasi dengan perubahan pasar, dan yang terpenting, selalu mendengarkan serta memahami kebutuhan pengguna adalah kunci untuk bertahan dan berkembang. Di dunia teknologi, tidak ada dominasi yang abadi jika sebuah entitas tidak mau berevolusi. 

 

Artikel Sebelumnya
Berlangganan buletin kami untuk pembaruan
Astra Digital

Quick Menu

Lainnya

© 2025 AstraDigital

Punya Pertanyaan?

Terhubung dengan kami

Globe